Meraba Rasa via Twitter @TegasIR

Standar

~ Peluk aku dari situ. Dari jauh yang tak tahu. Hayatilah, ini pelukan pamungkas. Sebelum aku lekas.

~ Sudah aku letakkan keping ingatku tentangmu. Entah terbawa angin atau alir kali menuju gelanggang nostalgi.

~ Resah rusuh. Memilin bosan. Pada jelaga sepi, asa mati tak terdeteksi.

~Mendebat malam. Kenapa tidak menghadirkan tenang yang mendebur gelisah.

~ Kelak, akan kita temui bahwa ternyata kita hanya perlu seorang perempuan dan banyak waktu bersamanya. Itu saja.

~ Aku seka sedihmu hati-hati.

~ Apa yang membuatmu memejamkan mata dengan sengaja, itu sakral.

~ Telah lama aku hunus harap pada degub cantikmu. Takzim untukmu pada sudut galau. Maka rela kah kamu membunuhku dengan rindu?

~ Rapikan rambutmu. Biar bisa aku acak-acak lagi. Segeralah datang. Di peraduan aku menantimu. Segala deyut buncah kangen, untukmu.

~ Aku gantungkan lelah pada cakrawala sore. Agar siapa saja tahu. Usah riak pikirmu itu, cium saja aku pada peraduan. Kapan?

~ Yang tak tahu adalah merindumu. Bahagia tapi tersiksa. Apa itu namanya.

~ Mencintaimu adalah kebahagiaan. Dicintai olehmu adalah kebahagiaan dikuadratkan.

~ Menemukanmu adalah doa yang terjawab.

~  Siang bolong. Rindu tak wajar melolong. Sampaikan saja diam-diam dalam tong. Biar tetap menggaung. Tolol.

~ Kalau sore sudah mulai gelap, jangan lupa nyalakan lampu. Kalau hati sudah mulai kalap, jangan telat nyalain rindu.

~ Nisf-e Jahan. Separuh dunia. Itu kamu. Ada didadamu. Semoga untukku.

~ Sebelum ada hujan menggusur cerah, sudah kau tendang cerahati. Kau pilin-pilin sisanya. Kau tinggalkan tanpa udara.

~ Ini adalah kamu. Ini adalah aku. Beda dan mustahil sama.

~ Ada banyak alasan bersamamu. Tapi lebih banyak alasan bersamanya.

~ Satu-satunya alasan meninggalkanmu adalah kamu.

~ Memang, aku tak lagi menemukanmu dalam angan. Ternyata, aku menemukanmu dalam kenangan.

~ Pagi ini. Aku meraba kisah. Mendengar resah. Tidak ada kamu. Sungguh. Kemana?

~ Aku tak pandai berkata-kata. Hanya sekedar membacakan rasa. Rasakan itu berbeda.

~ Sekian kali. Ku lipat rapi sekali lagi. Segala tentangmu. Nyenyak dalam angan, sesekali hilang. Semoga kau lekas datang.

~ Nanar. Buncah kangen pada debur kasih. Kamu kemana saja. Pulanglah. Kembalilah, rusukku.

~ Tidak menemukanmu dalam daftar masa depan adalah sebuah kekeliruan. Bukankah benar?

~ Gelanggang semesta kangen. Kutunggu kau disana.

~ Aku gusar, tak menemukanmu dalam angan. Sudah bebaskah engkau, dari segala kerumitan kita.

~ Pada gelanggang semesta kangen, kenalkah engkau dengan rinduku?

~ Aku menyampaikannya tanpa korupsi. Langsung dari hati. Tapi kenapa kamu masih butuh birokrasi?

~ Kita tidak harus sama untuk saling mengerti dan memahami.

** Seluruh tulisan ini disadur dari twit akun @TegasIR dengan tanggal posting yang berbeda-beda **